Allah subhanahu wata’ala telah
memerintahkan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam untuk membangun Baitul ‘Atiq, yaitu
masjid yang diperuntukkan bagi manusia untuk mereka menyembah Allah subhanahu
wa ta’ala.
Allah kemudian
menunjukkan kepada Nabi Ibrahim, di mana hendaknya bangunan tersebut dibangun.
Allah menunjuki Nabi Ibrahim lewat wahyu yang diturunkan kepadanya.
Para ulama
salaf mengatakan bahwa di setiap tingkat langit terdapat sebuah rumah. Penduduk
langit tersebut beribadah kepada Allah di rumah tersebut. Oleh karena itulah,
Allah memerintahkan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam membuat bangunan seperti itu
pula di muka bumi.
Bagaimanakah
kisah pembangunan Ka’bah oleh Nabi Ibrahim yang dibantu oleh putra beliau Nabi
Ismail ini? Kisahnya agak panjang. Kita mulai sekarang ya…
Dahulu, Nabi
Ibrahim ‘alahi salam membawa istrinya Hajar dan putra beliau Ismail ke daerah
Makkah. Pada saat itu, Hajar dalam keadaan menyusui putranya.
Nabi Ibrahim
kemudian menempatkan Hajar dan Ismail ke sebuah tempat di samping pohon besar.
Pada saat itu, di tempat tersebut tidaklah terdapat seorang pun dan tidak pula
ada air. Nabi Ibrahim kemudian meninggalkan keduanya beserta geribah yang di
dalamnya terdapat kurma, serta bejana yang berisi air.
Ketika Nabi
Ibrahim hendak pergi, Hajar mengikuti beliau seraya bertanya, “Wahai Ibrahim,
ke manakah engkau akan pergi? Apakah engkau akan meninggalkan kami padahal di
lembah ini tidak terdapat seorang pun dan tidak ada makanan apa pun?”
Hajar
mengucapkannya berkali-kali, namun Nabi Ibrahim tidak menghiraukannya. Hajar
kemudian bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkan engkau berbuat ini?” Nabi
Ibrahim kemudian menjawab, “Iya.” Hajar lalu berkata, “Dia tidak akan
membiarkan kami.” Hajar kemudian kembali.
Di daerah
Tsaniah, ketika sosok beliau hilang dari pandangan keluarga yang beliau
tinggalkan, Nabi Ibrahim berdoa,
“Ya Rabb kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak
mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya
Rabb Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah
hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari
buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Ketika
persedian air mereka habis, Hajar pun mencari air untuk dia dan putranya. Dia
pergi ke bukit Shafa, mencari-cari adakah orang di sana, namun dia tidak
menemukan siapa pun di sana.
Hajar pun
kemudian pergi ke Marwah dan mencari-cari orang pula di sana. Dia juga tidak
mendapati seorang pun.
Hajar
berulang-ulang pergi dari Shafa ke Marwah, sebaliknya dari Marwah ke Shafa
sampai tujuh kali. Oleh karena itu, di dalam ibadah haji ada yang namanya Sai,
yaitu berlari-lari kecil dari Shafa ke Marwa dan sebaliknya sampai tujuh kali.
Sampai ke
Marwah, Hajar mendengar suara. Lalu dia berkata, “Diamlah”. Dia mendengar suara
itu, lalu mencari sumber suara itu dan berkata, “Aku telah mendengarmu, apakah
engkau dapat memberikan bantuan?”
Ternyata dia
berada bersama malaikat di tempat di mana terdapat air zam-zam. Lalu, malaikat
itu mengais-ngais tanah hingga akhirnya muncul air. Selanjutnya, ia pun
menuruni air tersebut, mengisi bejananya dan kembali ke putranya Ismail,
kemudian menyusuinya.
Malaikat lalu
berkata kepada Hajar, “Janganlah engkau takut disia-siakan, karena di sini akan
dibangun sebuah rumah oleh anak ini dan bapaknya. Dan sesungguhnya Allah tidak
akan menyia-nyiakan keluarganya”
Setelah
beberapa waktu berlalu, serombongan suku Jurhum datang ke tempat tersebut dan
tinggal di sekitar air zam-zam bersama Hajar dan Ismail. Ini semua mereka
lakukan atas izin dari Hajar.
Nabi Ismail pun
beranjak dewasa dan belajar Bahasa Arab dari Suku Jurhum tersebut. Beliau juga
menikah dengan salah seorang wanita mereka. Diceritakan pula bahwa Hajar
kemudian meninggal dunia.
Pada suatu
saat, Nabi Ibrahim datang ingin menjenguk Nabi Ismail ‘alaihimassalam. Namun,
beliau hanya menemui istri Nabi Ismail saja.
Nabi Ibrahim
bertanya kepada wanita tersebut ke mana kiranya Nabi Ismail pergi. Istrinya
menjawab, “Dia sedang mencari nafkah untuk kami.”
Nabi Ibrahim
lalu bertanya tentang keadaan mereka. Istri Nabi Ismail menjawab, “Kami dalam
kondisi yang jelek dan hidup dalam kesempitan dan kemiskinan.”
Mendengar
jawaban tersebut, sebelum pulang Nabi Ibrahim berpesan kepada wanita itu untuk
menyampaikan salam kepada Nabi Ismail dan berpesan agar Nabi Ismail mengganti
pegangan pintunya.
Setelah Nabi
Ismail kembali ke rumah, istrinya pun menceritakan peristiwa tadi dan
menyampaikan pesan Nabi Ibrahim kepada suaminya.
Mendengar hal
tersebut, Nabi Ismail pun berkata kepada istrinya, “Itu tadi adalah bapakku. Ia
menyuruhku untuk menceraikanmu, maka kembalilah engkau kepada orang tuamu.”
Nabi Ismail pun
menceraikan istrinya tadi sesuai dengan pesan Nabi Ibrahim dan kemudian menikah
lagi dengan seorang wanita dari Bani Jurhum juga.
Setelah
beberapa waktu berlalu, Nabi Ibrahim kemudian kembali mengunjungi Nabi Ismail.
Namun, Nabi Ismail tidak ada di rumah. Nabi Ibrahim pun menemui istri Nabi
Ismail yang baru.
Beliau bertanya
dimana Nabi Ismail sekarang. Istrinya menjawab bahwa Nabi Ismail sedang mencari
nafkah.
Nabi Ibrahim
juga bertanya tentang keadaan mereka. Wanita itu menjawab bahwa keadaan mereka
baik-baik saja dan berkecukupan, sambil kemudian memuji Allah azza wa jalla.
Nabi Ibrahim
lalu bertanya tentang makanan serta minuman mereka. Wanita itu menjawab bahwa
makanan mereka adalah daging, adapun minuman mereka adalah air. Maka Nabi
Ibrahim mendoakan kedua hal ini, “Ya Allah berkatilah mereka pada daging dan
air.”
Setelah itu,
Nabi Ibrahim pun pergi dari rumah Nabi Ismail. Namun, sebelumnya beliau
berpesan kepada wanita itu agar Nabi Ismail memperkokoh pegangan pintunya.
Ketika Nabi Ismail pulang, beliau
bertanya kepada istrinya, “Adakah tadi orang yang bertamu?”
Istrinya menjawab, “Ada, seorang tua yang berpenampilan bagus.” Dia memuji Nabi Ibrahim.
“Ia bertanya kepadaku tentang dirimu, maka aku jelaskan keadaanmu kepadanya. Dia juga bertanya tentang kehidupan kita, dan aku jawab bahwa kehidupan kita baik-baik saja.”
Istrinya menjawab, “Ada, seorang tua yang berpenampilan bagus.” Dia memuji Nabi Ibrahim.
“Ia bertanya kepadaku tentang dirimu, maka aku jelaskan keadaanmu kepadanya. Dia juga bertanya tentang kehidupan kita, dan aku jawab bahwa kehidupan kita baik-baik saja.”
Nabi Ismail
kemudian bertanya, “Apakah dia memesankan sesuatu kepadamu?”
Istrinya
kembali menjawab, “Ya. Ia menyampaikan salam kepadamu dan menyuruhku
mengokohkan pegangan pintumu.”
Nabi Ismail
berkata, “Itu adalah ayahku dan engkau adalah pegangan pintu tersebut. Beliau
menyuruhku untuk tetap menikahimu (menjagamu).”
Waktu pun
berlalu. Suatu saat ketika Nabi Ismail sedang meraut anak panah, Nabi Ibrahim
pun datang. Nabi Ismail pun bangkit menyambutnya, dan mereka pun saling
melepaskan rindu.
Selanjutnya,
Nabi Ibrahim berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya Allah menyuruhku menjalankan
perintah.”
Ismail
menjawab, “Lakukanlah apa yang diperintahkan Rabbmu.”
“Apakah engkau
akan membantuku?”, Tanya Nabi Ibrahim kembali.
“Aku pasti akan
membantumu.” seru Ismail.
Nabi Ibrahim
kemudian menunjuk ke tumpukan tanah yang lebih tinggi dari yang sekitarnya.
Beliau berkata, “Sesungguhnya Allah menyuruhku membuat suatu rumah di sini.”
Pada saat
itulah, keduanya kemudian meninggikan pondasi Baitullah. Ismail mulai
mengangkut batu, sementara Ibrahim memasangnya.
Setelah
bangunan tinggi, Ismail membawakan sebuah batu untuk menjadi pijakan bagi Nabi
Ibrahim. Batu inilah yang akhirnya disebut sebagai maqam (tempat berdiri) Nabi
Ibrahim.
Mereka pun
terus bekerja sembari mengucapkan doa, “Wahai Rabb kami terimalah dari kami
(amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui”.
Sampai akhirnya
tuntaslah pembangunan baitullah itu. Ka’bah pun akhirnya berdiri di bumi Allah
‘azza wa jalla.(*)
(Sumber:
Kisah-Kisah tentang Ka’bah, Penerbit Al-Ilmu)
0 komentar:
Posting Komentar