Matahari yang terbit dari sebelah timur tanpa mendung
mengumumkan kedatangan sebuah pagi yang baru. Semesta alam menghirup angin pagi
yang sepoi-sepoi, dan orang-orang mukmin pun melihat keagungan Allah pada
makhluknya.
Keagungan tersebut adalah
matahari yang terbit dengan sinar keemasannya yang hampir-hampir merenggut
pengihatan, setelah sebelumnya pada waktu malam tidak terlihat karena
berada di belahan bumi yang lain.
Juga langit yang cerah seolah
sedang membanggakan kebiruannya yang tak tercampuri awan; serta suara-suara
burung yang memenuhi setiap tempat di kebun seorang Syaikh yang shalih,
yaitu Syaikh ‘Abdullah.
Kebun milik Syaikh dipenuhi oleh berbagai kebaikan berupa buah-buahan yang menghiasi ranting-ranting pohon, sehingga kebun Syaikh menjadi seperti salah satu surga Allah di muka bumi.
Kebun milik Syaikh dipenuhi oleh berbagai kebaikan berupa buah-buahan yang menghiasi ranting-ranting pohon, sehingga kebun Syaikh menjadi seperti salah satu surga Allah di muka bumi.
Oeh karena itulah, penduduk
Dharawan menamakan kebun itu dengan sebutan ‘surga’. Sungguh, kebun itu
benar-benar telah menjadi salah satu surga, sebab Syaikh yang shalih telah
bekerja keras untuk menyemai dan menanam pepohonannya. Dia juga merawat tanaman
dan pohon buah-buahan itu hingga pohon itu menghasilkan buahnya pada setiap
musim.
Syaikh Shalih tak lain hanyalah
seorang mukmin yang mengetahui hak-hak Allah pada harta, buah-buahan, dan
tanam-tanamannya. Setiap masa panen tiba, dia selalu mengeluarkan hak Allah
berupa zakat dari buah-buahan kebunnya yang seperti surga, sehingga kebunnya
itu menjadi berkah dan dengan izin Allah dapat menghasilkan buahnya
berlipat-lipat. Orang-orang fakir dan miskin yang ada di kota itu kemudian
memakannya, sehngga kebun tersebut menjadi surga bagi orang-orang fakir disana.
Mereka dapat bersenang-senang sembari makan hasil buah-buahannya yang baik.
Mereka hidup bahagia di ‘surga’ Syaikh shalih, dan dia pun hidup dengan penuh
keridhaan atas karunia yang telah Allah berikan kepadanya berupa rizqi yang
baik lagi luas.
Disana tidak ada yang
mengkhawatirkan atau mencemaskan sang Syaikh dalam kehidupannya, kecuali sikap
beberapa anaknya yang sering menentangnya dalam hal zakat dan mengeluarkan
shadaqah kepada orang-orang fakir. Namun demikian, Syaikh selalu berharap
mereka diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketiga orang anak Syaikh
‘Abdullah berkumpul saat ayah mereka sedang berada di luar rumah. Tanda-tanda
kemarahan dan ketidak setujuan tampak pada mereka terhadap semua yang dilakukan
oleh ayah mereka, setelah dia mengeluarkan zakat tanam-tanaman dan memberikannya
kepada orang-orang fakir.
Anak yang sulung berkata:
“Apa yang
dilakukan oleh ayah kita dengan sedekahh yang di keluarkannya itu?”
Anak yang bungsu berkata: “Memang benar, zakat
tanam-tanaman. Namun dia lupa bahwa kita benar-benar akan menjadi orang terkaya
di Dharawan jika dia menjual semua hasil buah-buahannya, tanpa memberikan
sebagiannya kepada orang-orang yang miskin itu.”
Anak yang pertengahan berkata:
“Itu adalah hak Allah atas
tanam-tanaman.”
Si bungsu berkata: “Apakah Allah memerintahkan kepada
ayah untuk menyia-nyiakan harta dan memberikannya kepada setiap orang yang
mengaku dirinya fakir?”
Si sulung berkata: “Atau, barangkali Allah telah
memerintahkan kepadanya untuk melupakan kita dari hasil buah-buahan itu?”
Anak yang tengah berkata: “Tidak, bahkan Allahlah yang
menumbuhkan buah-buahan ini , sedang kita tidak melakukan apapun, kecuali hanya
menanam benih di tanah, kemudian menyiraminya dengan air. Adapun tanam-tanaman
itu , sesungguhya Allah memberikan perintah kepadanya sehingga ia menjadi
besar, tumbuh, kemudian menjadi pohon setelah sebelumnya menjadi benih, lalu
pepohonan itu pun memberikan buahnya dengan perintah Allah.”
Si bungsu berkata: “Ah, itu hanyalah isapan jempol
belaka, tidak ada gunanya. Yang jelas, setiap hari kitalah yang menyiraminya
dengan air, memelihara dan menjaganya dari hama.”
Anak yang tengah berkata: “Bahkan Allah lah yang menjaganya
dari tertimpa api yang akan membakarnya, atau dari hujan yang akan
menenggelamkannya, atau bahkan dari hama yang tidak dapat kita lihat atau kita
atasi. Apa yang dikeluarkan oleh ayah kita adalah sebagian dari hak Allah dan
bukan seluruhnya. Seandainya Allah memerintahkan kita mengeluarkan hak itu
seluruhnya, niscaya kita tidak akan kebagian apapun.”
Si sulung berkata: “Kami mengakui terhadap hak Allah,
tapi apakah Allah memerintahkan agar ayah kita memeberikannya kepada
orang-orang fakir dan miskin?”
Anak yang tengah menjawab: “Ya, sebab Allah telah membarikan
kita harta dan buah-buahan, dan Dia menjadikan kita orang-orang yang
mendapatkan amanah pada kedua hal itu. Sementara Allah pun menjadikan sebagian
orang sebagai orang-orang fakir, agar orang kaya memberikan sebaian hartanya
kepada orang yang fakir, sehingga mereka dapat hidup. Jika kita tidak
memberikan apa pun kepada orang-orang yang fakir, darimana mereka dan
keluarganya akan makan?”
Anak sulung berkata: “Lalu kenapa setiqp orang dari
mereka tidak bekerja sendiri dan makan dari hasilnya?”
Anak yang tengah menjawab: “Sebagian mereka bekerja, tapi
Allahlah Yang Maha Pemberi rizki. Dia meluaskan rizki kepada sebagian dari kita
dan menyempitkannya kepada sebagian yang lain untuk menguji kita, juga untuk
mengetahui dengan nyata siapa yang menunaikan hak Allah dan siapa yang tidak
menunaikannya.”
Anak yang bungsu berkata: “Kamu seperti ayah kita, dan
nampaknya penyakit pada keluarga kita sudah merupakan penyakit keturunan.”
Sekarang anak yang tengah
berkata: “ akat kamu anggap sebagai penyakit ? Laa haula wa laa quwwata
illa billaah, semoga Allah memberi petunjuk kepada kalian berdua, wahai
saudara-saudaraku yang mulia!”
Ketiga orang itu kemudian
berpisah. Anak yang tengah pergi mengikuti jejak ayahnya, sementara kedua
saudaranya yang lain pergi menjauh dari ayahnya dan menghabiskan malam-malam
berikutnya dengan penuh kemarahan dan kejengkelan terhadap ayah dan saudara
mereka.
Salah seorang yang fakir datang
ke kebun Syaikh ‘Abdullah untuk meminta sejumlah buah-buahan buat anaknya yang
sedang sakit dan menangis tiada hentinya karena tidak menemukan sesuatu pun
yang dapat di makannya. Syaikh kemudian masuk ke dalam kebun untuk memetik
buah-buahan, kemudian memberikan sebagiannya. Setelah itu Syaikh memberikan
sejumlah uang kepadanya. Tiba-tiba si fakir berdoa dengan suara keras : ‘ Semoga Allah memberkatimu pada harta dan “surga” mu. Semoga
Allah juga memberkatimu, wahai Syaikh yang baik.”
Syaikh kemudian menatap
anak-anaknya dan berkata: “Karena doa seperti inilah Allah memberikan keberkahan kepada kita
pada kebun dan buah-buahan kita, wahai anak-anakku.”
Hanya saja, anak yang sulung
pergi sambil menggigit kedua bibirnya karena marah. Dia berkata: “Bahkan, karena si fakir dan
orang-orang seperti inilah kita bakal tidak mendapatkan satu biji buah atau satu
dirham pun untuk kita makan.”
Syaikh kemudian marah dan
berkata: “Allah tidak
akan memberikan keberkahan apapun kepadamu dan saudara-saudaramu selama kamu
dalam keadaan sekikir ini.”
Anak yang tengah turut campur
tangan untuk menenangkan ayahnya. Dia berkata: “Ayah, sesungguhnya saudaraku tidak bermaksud apapun.
Dia hanya bermaksud bahwa ayah sudah mengeluarkan zakat harta dan buah-buahan,
sehingga kita tidak perlu mengeluarkan zakat buah-buahan dan harta lagi.”
Syaikh berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya
sedekah itu dapat memadamkam kemurkaan Allah dan meninggikan derajat
orang-orang mukmin di surga. Sesungguhnya Allah akan memberikan untuk satu biji
yang di shadaqahkan seratus kebaikan. Jika kita bershdaqah dengan tujuh biji
buah, niscaya Allah akan menjadikan pada tiap-tiap biji buah itu pahala seratus
biji buah, yakni semuanya menjadi tujuh ratus biji buah, sedangkan satu
kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa. Jadi, jumlah
keseluruhannya akan menjadi tujuh ribu kebaikan. Allah akan menambah dan
melipatgandakan pahala bagi siapapun yang Dia kehendaki, sebab Allah Maha
Pemberi karunia yang agung.”
Anak yang tengah berkata: ”Apalagi pahala untuk orang-orang
yang bershadaqah, Ayah?”
Syaikh berkata: “Allah akan memberikan pahala
kepadanya yang tidak Dia berikan kepada seorang manusia pun.
Sesungguhnya pada hari kiamat matahari dekat dengan
kepala, sehingga manusia membutuhkan naungan dan air karena sangat haus. Mereka
tidak akan mendapatkan, selain naungan ‘Arsy Allah.
Diantara tujuh kelompok yang akan Allah masukkan ke
dalam naungan-Nya pada hari tiada naungan selain naungan-Nya adalah orang yang
mengeluarkan sedekahnya dengan tangan kanannya, kemudian menyembunyikan dari
tangan kirinya, sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang di infakkan
tangan kanannya.”
Anak yang bungsu berkata dengan
nada sinis: “Tapi di dunia
kita butuh harta, bukan kebaikan.”
Anak yang tengah menjawab: “Tapi di akhirat kita tidak
memerlukan apapun, selain kebaikan, dan akhirat lebih baik dan lebih kekal.
Ketika kamu berdiri di hadapan Allah, tidak akan pernah berguna harta dan
kekayaan itu, sebab itu akan hilang dan lenyap setelah kematianmu.”
Syaikh ‘Abdullah berkata: “Ketahuilah, bahwa orang yang
tidak mengeluarkan zakat harta itu akan Allah jadikan pada hari kiamat kelak
sebagai tontonan bagi yang lain, karena Allah akan menyiksanya dengan siksaaan
yang pedih. Orang yang tidak mengeluarkan zakat akan dikurung pada hari kiamat
dalam sebuah kurungan yang terbuat dari api, hingga Allah selesai dari
menghisab semua makhluk-Nya dari Adam ‘Alaihissalam hingga orang yang paling
terakhir matinya.
Allah kemudian mengalihkan perhatian-Nya dengan
pandangan yang murka kepada orang-orang yang tidak mengeluarkan zakatnya.
Setelah itu hartanya akan berubah menjadi kalung api di lehernya, kemudian api
membakar harta emas dan perak simpanannya. Selanjutnya, kening, lambung, dan
punggungnya akan disetrika dengan api itu.”
Saudara sulung berkata tanpa
mendengarkan perkataan ayahnya: “Bahkan aku akan bertobat sebelum mati dan Allah akan
mengampuniku. Dengan demikian, aku dapat menikmati harta di dunia dan surga di
akhirat.”
Meski ayahnya tidak
mendengarkannya, namun Allah dapat mendengar, sebab Dia adalah Dzat Yang Maha
Mendengar segala suara. Tiada sesuatu pun yang samar bagi-nya, karena Dia
adalah Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Allah tidak akan menerima
tobat orang yang melakukan dosa dan lupa bahwa Allah hanya menerima tobat dari
orang-orang yang berniat untuk tobat, bukan orang-orang yang berniat untuk
maksiat.
Semuanya kemudian berpisah
ketika waktu shalat telah tiba. Ketika Syaikh ‘Abdullah bersujud, dia
memanjatkan doanya: “Ya Allah,
berilah petunjuk kepada anak-anakku.”
“ Aku berpesan kepada kalian untuk berbuat baik
kepada orang-orang fakir dan tidak melupakan zakat hak Allah yang ada pada
kebun kita.”
Demikian perkataan Syaikh
‘Abdullah di atas pembaringannya saat sedang sakit keras, sehingga tidak lama
kemudian sakitnya ini membawanya kepada kematian. Rupanya Allah menghendaki
pria yang baik dan pemilik ‘surga’ itu wafat, beberapa saat sebelum waktu panen
tiba .
Ketiga bersaudara itu kemudian
kembali setelah mereka memakamkan ayah mereka. Mereka menangisi kematian
ayahnya dan bersedih karena berpisah dengannya. Setelah itu masing-masing
mereka pulang ke rumah kediamannya masing-masing.
Ketika pagi menyingsing, mereka
pergi menuju ke kebun tempat mereka mempersiapkan segala sesuatu untuk musim
panen yang sudah dekat waktunya. Mereka mempersiapkan kebun mereka untuk
menjemput musim panen ini dengan penuh kebahagiaan karena kebun tersebut
memberikan hasil buah-buahan yang berlimpah ruah.
Buah-buahan yang ada di atas
pohon itu seperti bintang yang menyinari langit atau lampu yang menghiasi
pepohonan. Karunia itu begitu melimpah dan rizki itu sangat banyak, sehingga
masing-masing dari mereka melilhat ‘surga’ itu dan mengharapkan seandainya ayah
mereka masih hidup, niscaya dia akan turut merasakan kebahagiaan mereka, karena
buah-buahan yang begitu banyak.
Ketiga orang itu kembali ke
rumah mereka dan pembicaraan itu mulai bergulir diantara mereka.
Anak sulung berkata: “ Atas alasan apa kita harus memberikan harta kita kepada
orang-orang fakir.”
Anak yang tengah menjawab: “ Ini adalah hak Allah, dan Dia telah memerintahkan ini kepada
kita untuk mengeluarkannya. Demikian juga ayahmu pun telah mewasiatkannya
kepadamu sebelum dia meninggal dunia.”
Anak yang bungsu berkata: “Sesungguhnya ayah kita itu bodoh.
Dia memberikan buah-buahan dan hartanya kepada orang-orang fakir. Seandainya
kita menjual buah-buahan itu, niscaya kita akan menjadi orang paling kaya dan
kita pun dapat menyimpan harta yang banyak.”
Anak yang tengah menjawab: “Kamu memaki ayahmu dan menuduhnya
bodoh, dan kamu juga melarang zakat?”
Anak sulung berkata: “Janganlah kamu memaki ayah kita.
Inilah kesalahan dirimu. Namun kamu benar jika kamu mengatakan bahwa pada tahun
ini kita tidak akan memberikan sedikitpun dari buah-buahan itu kepada
orang-orang fakir.”
Anak yang tengah berkata : “ Bagaimana ? Bagaimana mungkin kamu melarang sesuatu yang telah
Allah perintahkan kepada kita. Apakah kamu telah lupa akan semua hal yang
pernah dikatakan tentang hal ini?”
Anak bungsu berkata: “Dia saudara tuamu. Dengarkanlah
apa yang dia katakan. Laksanakan apa yang dia perintahkan, kecuali kami pun
akan mengharamkanmu mendapatkan buah-buahan ini.”
Anak sulung berkata: “Saudaraku, itu adalah harta kita,
sedang ayahmu –semoga Allah merahmatinya- telah mengeluarkan zakat selama
bertahun-tahun lamanya. Kita akan menyimpan harta ini dan tidak mengeluarkan
zakatnya hanya untuk tahun ini saja. Setelah itu, kita akan mengeluarkan zakat
harta ini pada setiap tahunnya.”
Anak yang tengah berkata: “Jangan lakukan itu
saudaraku, sebab barang siapa yang tidak memberikan zakat sekali, maka untuk
selanjutnya berat baginya untuk mengeluarkannya.”
Anak bungsu berkata: “Zakat, hak Allah, orang-orang
fakir. Tinggalkan semua ini marilah kita buat kesepakatan, niscaya kita akan
menjadi orang yang kaya raya. Harta dan buah-buahan itu akan menjadi milik
kita, sedang orang-orang fakir itu, cukuplah mereka mendapatkan zakat itu di
waktu-waktu yang sebelumnya.”
Anak sulung berkata: ”Aku puya ide.”
Anak bungsu bertanya: “Apa itu ?
Anak sulung berkata : “ Kita akan memanen pada malam hari dan kita akan memetik
buah-buahan itu sebelum subuh, sebelum orang-orang fakir dan miskin itu masuk
ke dalam kebun. Apabila orang-orang fakir itu datang pada pagi hari, mereka
tidak akan mendapatkan buah-buahan itu sedikitpun. Mereka kemudian kembali
tanpa membawa buah-buahan dan kita dapat melakukan apa yang kita inginkan.”
Anak yang tengah berkata: “Saudaraku, takutlah kamu
kepada Allah. Mengapa kalian tidak bertasbih kepada Allah dan memanjatkan puji
dan bersyukur kepada-Nya atas kenikmatan yang telah Dia karuniakan kepada
kalian dan memohon ampunan kepada-Nya?”
Anak bungsu menjawab: “Kami akan memohon ampunan tapi
setelah panen nanti.”
Malam telah menyelimutkan
kegelapannya kepada alam, sehingga sebagian manusia tidak dapat melihat
sebagian yang lain, karena kegelapan malam yang pekat.
Dari rumah Syaikh ‘Abdullah
ketiga orang bersaudara itu pergi secara sembunyi-sembunyi di pagi yang masih
gelap karena mereka takut di dengar oleh salah seorang miskin, sebab ayah
mereka –semoga Allah merahmatinya- selalu mengundang orang-orang yang fakir
pada hari panen dan memberitahukan mereka tentang waktunya.
Karena saudara yang tengah di
khawatirkan akan membongkar rahasia itu, maka kedua saudaranya pun memintanya
bersumpah dengan mengatasnamakan Allah bahwa hari itu tidak akan ada seorang
miskin pun yang menemui mereka.
Hal itu dilakukan oleh kedua
orang itu karena mereka tahu bahwa saudaranya yang tengah pasti akan menaati
perintah mereka. Dengan demikian, mereka berkeyakinan mampu untuk mencegah agar
tidak mengeluarkan zakat. Masing-masing dari mereka dalam perjalanannya menuju
ke kebun dibuai oleh khayalan akan mendapatkan harta yang banyak, yang akan
masuk ke dalam kas mereka setelah mereka dapat menjual buah-buahan itu. Jika
harta itu telah masuk ke dalam kas mereka, maka mereka dapat membeli berbagai
barang, kemudian dapat menjualnya lagi, sehingga harta mereka akan bertambah dan
semakin bertambah, sampai menjadi seperti gunung layaknya. Dengan harta itu,
mereka akan membeli kebun yang banyak, sehingga mereka tidak hanya memiliki
sebuah kebun, tetapi seribu kebun. Selanjutnya, orang-orang akan menjadi budak
dan pembantu mereka.
Mereka berjalan dengan membawa
impiannya masing-masing, hingga mereka sampai di kebun itu. Tiba-tiba mereka
menemukan kegelapan yang sangat pekat, hingga salah seorang dari mereka hampir
tidak dapat melihat tangannya sendiri.
Saudara sulung kemudian
berseru: “Mengapa segelap
ini ? Aku tidak dapat melihat pintu kebun.”
Saudara bungsu menjawab: “Aku benar-benar tersesat. Kita
tersesat jalan.”
Saudara yang tengah berkata: “Bahkan kita menjadi orang yang
tidak mendapat hasil apa-apa. Allah telah mengharamkan kita dari buah-buahan di
kebun itu. Tidakkah sekarang kalian melihat lokasi kebun itu telah menjadi
tanah yang gosong. Sekarng Allah telah menghukum kita, sehingga ‘surga’
yang ayah kalian telah bersusahpayah disana dan kalian tidak ingin mengeluarkan
zakat darinya itu pun terbakar habis dan menjadi arang. Bukankah telah aku
katakan kepada kalian bahwa hal itu akan terjadi jika kalian tidak bertasbih
dan bersyukur kepada-Nya?
“ Maha Suci Tuhan kita. Sesungguhnya kita adalah orang-orang
yang zalim.”
Mereka kemudian saling mencela,
kemudian berkata: “Aduhai,
celakalah kita. Sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas
lagi zhalim. Mudah-muahan Allah akan memberi pengganti kepada kita dengan
(kebun) yang lebih baik daripada kebun kita ini. Sesungguhnya kita telah
bertobat kepada Allah dan sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan
kita.”
Namun mereka menyesal pada saat
penyesalan tidak lagi berguna dan mengakui dosa setelah datang hukuman. Oh,
seandainya saja mereka mengeluarkan zakat harta mereka sebagaimana yang telah
Allah perintahkan kepada mereka.
Sumber: www.KisahMuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar