Kisah Nabi Ismail

Ismail adalah putera dari Ibrahim dengan Istri Siti Hajar, kakak kandung dari Ishaq dari Ibu Siti Sarah. Ia diperkirakan  menjadi nabi pada tahun 1850 SM. Ia tinggal di  Amaliq dan berdakwah untuk Qabilah  Yaman , Mekah. Namanya disebutkan sebanyak 12 kali dalam Al Qur’an.  Ia meninggal pada tahun 1779 SM di Mekkah. Secara tradisional ia dianggap sebagai Bapak Bangsa Arab.

Nabi Ibrahim meninggalkan Mesir.
Nabi Ibrahim  berhijrah meninggalkan Mesir bersama Sarah, isterinya dan Hajar,  di tempat tujuannya di Palestina. Ia telah membawa pindah juga semua hewan ternaknya dan harta miliknya yang telah diperolehnya sebagai hasil usaha dagangnya di Mesir.

Siti Hajar melahirkan Ismail.
Untuk sesuatu hikmah yang belum diketahui dan disadari oleh Nabi Ibrahim; Allah s.w.t. mewahyukan kepadanya agar keinginan dan permintaan Sarah isterinya dipenuhi.  Dan dijauhkanlah Ismail bersama Hajar ibunya  ke suatu tempat di mana yang ia akan tuju dan di mana Ismail puteranya bersama ibunya akan ditempatkan dan kepada siapa akan ditinggalkan.
Maka dengan tawakkal kepada  Allah  berangkatlah Nabi Ibrahim meninggalkan rumah membawa Hajar dan Ismail menaiki unta tanpa tempat tujuan yang tertentu. Ia hanya berserah diri kepada Allah yang akan memberi arah kepada binatang tunggangannya. Dan berjalanlah unta  Nabi Ibrahim dengan tiga hamba Allah yang berada di atas punggungnya keluar kota masuk ke lautan pasir dan padang terbuka di mana terik matahari  dengan pedihnya menyengat tubuh dan angin yang kencang menghamburkan debu-debu pasir.

Ismail dan ibunya, Hajar, ditinggalkan di Makkah

Setelah berminggu-minggu berada dalam perjalanan jauh yang melelahkan, tibalah Nabi Ibrahim bersama Ismail dan ibunya di  Makkah . Di tempat di mana Masjidil Haram sekarang berada, berhentilah unta Nabi Ibrahim mengakhiri perjalanannya dan di situlah ia meninggalkan Hajar bersama puteranya dengan hanya bekal sekedarnya  sedangkan keadaan sekitarnya tiada tumbuh-tumbuhan, tiada air mengalir, yang terlihat hanyalah batu dan pasir kering.
Nabi Ibrahim kembali ke Palestina ke Siti Sarah. Dan dalam waktu -waktu tertentu tetap berkunjung ke Siti Hajar dan Ismail anaknya yang berada di tanah Mekah.

Nabi Ibrahim mendapat perintah Allah untuk menyembelih Ismail putranya.
Sewaktu Nabi Ismail mencapai usia remajanya Nabi Ibrahim a.s. mendapat mimpi bahwa ia harus menyembelih Ismail puteranya. Dan mimpi seorang nabi adalah salah satu dari cara-cara turunnya wahyu Allah, maka perintah yang diterimanya dalam mimpi itu harus dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim. Ia duduk sejurus termenung memikirkan ujian yang maha berat yang ia hadapi. Sebagai seorang ayah yang dikurniai seorang putera yang sejak puluhan tahun diharap-harapkan dan didambakan, seorang putera yang telah mencapai usia di mana jasa-jasanya sudah dapat dimanfaatkan oleh si ayah, seorang putera yang diharapkan menjadi pewarisnya dan penyampung kelangsungan keturunannya, tiba-tiba harus dijadikan qurban dan harus direnggut nyawa oleh tangan si ayah sendiri.
Namun ia sebagai seorang Nabi, pesuruh Allah dan pembawa  agama yang seharusnya menjadi contoh dan teladan bagi para pengikutnya dalam bertaat kepada Allah, menjalankan segala perintah-Nya dan menempatkan cintanya kepada Allah di atas cintanya kepada anak, isteri, harta benda dan lain-lain. Ia harus melaksanakan perintah Allah yang diwahyukan melalui mimpinya, apa pun yang akan terjadi sebagai akibat pelaksanaan perintah itu.
Sungguh amat berat ujian yang dihadapi oleh Nabi Ibrahim, namun sesuai dengan firman Allah yang bermaksud: “Allah lebih mengetahui di mana dan kepada siapa Dia mengamanatkan risalahnya”. Nabi Ibrahim tidak membuang masa lagi, berazam (niat) tetap akan menyembelih Nabi Ismail puteranya sebagai qurban sesuai dengan perintah Allah yang telah diterimanya. Dan berangkatlah serta merta Nabi Ibrahim menuju ke Makkah untuk menemui dan menyampaikan kepada puteranya apa yang Allah perintahkan.
Nabi Ismail sebagai anak yang soleh yang sangat taat kepada Allah dan bakti kepada orang tuanya, ketika diberitahu oleh ayahnya maksud kedatangannya kali ini tanpa ragu-ragu dan berfikir panjang berkata kepada ayahnya:
“Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu. Engkau akan menemuiku insya-Allah sebagai seorang yang sabar dan patuh kepada perintah. Aku hanya meminta dalam melaksanakan perintah Allah itu, agar ayah mengikatku kuat-kuat supaya aku tidak banyak bergerak sehingga menyusahkan ayah, kedua agar menanggalkan pakaianku supaya tidak terkena darah yang akan menyebabkan berkurangnya pahalaku dan terharunya ibuku bila melihatnya, ketiga tajamkanlah pedangmu dan percepatkanlah perlaksanaan penyembelihan agar meringankan penderitaan dan rasa pedihku, keempat dan yang terakhir sampaikanlah salamku kepada ibuku berikanlah kepadanya pakaian ku ini untuk menjadi penghiburnya dalam kesedihan dan tanda mata serta kenang-kenangan baginya dari putera tunggalnya.”

Kemudian dipeluknyalah Ismail dan dicium pipinya oleh Nabi Ibrahim seraya berkata: “Bahagialah aku mempunyai seorang putera yang taat kepada Allah, bakti kepada orang tua yang dengan ikhlas hati menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah”.
Saat penyembelihan yang mengerikan telah tiba. Diikatlah kedua tangan dan kaki Ismail, dibaringkanlah ia di atas lantai, lalu diambillah pedang  tajam yang sudah tersedia dan sambil memegang pedang  di tangannya, kedua mata nabi Ibrahim yang tergenang air berpindah memandang dari wajah puteranya ke pedang  yang mengkilap tajam di tangannya, seakan-akan pada masa itu hati beliau menjadi tempat pertarungan antara perasaan seorang ayah di satu pihak dan kewajiban seorang rasul di satu pihak yang lain. Pada akhirnya dengan memejamkan matanya, pedang diletakkan pada leher  Nabi Ismail dan penyembelihan di lakukan . Akan tetapi apa daya, pedang  yang sudah demikian tajamnya itu ternyata menjadi tumpul dileher Nabi Ismail dan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan sebagaimana diharapkan.
Berkatalah ia kepada ayahnya:” Wahai ayahku! Rupa-rupanya engkau tidak sampai hati memotong leherku karena melihat wajahku, cobalah telungkupkan aku dan laksanakanlah tugasmu tanpa melihat wajahku. “Akan tetapi pedang itu tetap tidak berdaya mengeluarkan setitik darahpun dari daging Ismail walau ia telah ditelangkupkan dan dicoba memotong lehernya dari belakang.
Dalam keadaan bingung dan sedih hati, kerana gagal dalam usahanya menyembelih puteranya, datanglah kepada Nabi Ibrahim wahyu Allah dengan firmannya: “Wahai Ibrahim! Engkau telah berhasil melaksanakan mimpimu, demikianlah kami akan membalas orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Kemudian sebagai tebusan ganti nyawa, Ismail telah diselamatkan itu, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih seekor kambing   yang telah tersedia di sampingnya dan segera dipotong leher kambing itu oleh beliau dengan pedang yang dipegangnya. Dan inilah asal permulaan sunnah berqurban yang dilakukan oleh umat Islam pada tiap  Hari Raya Idul Adha  di seluruh pelosok dunia.

0 komentar:

Posting Komentar