Jika nama Abu Bakar disebut,
Al-Faruq Umar bin al-Khaththab -Radhiallaahu ‘Anhu berkata, “Abu Bakar adalah
tuan kami, dan dia membebaskan tuan kami.” Yakni Bilal. Orang yang disebut Umar
sebagai “tuan kami” adalah benar-benar orang yang mulia dan mempunyai kedudukan
yang agung.
Ia adalah mu’adzin Rasulullah
-Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam. Ia adalah hamba yang disiksa
oleh tuannya dengan batu yang telah dipanaskan un-tuk memurtadkannya dari
agamanya, tapi ia berkata, “Ahad, Ahad (Allah Yang Esa).”
Ia hidup sebagai hamba sahaya,
hari-harinya berlalu tanpa beda dan buruk. Ia tidak punya hak pada hari ini,
dan tidak punya harapan pada esok hari. Seringkali ia mendengar tuan-nya,
Umayyah, berbicara bersama kawan-kawannya pada suatu waktu dan para anggota
kabilah di waktu lain tentang Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa
Sallam, dengan pembicaraan yang meluapkan amarah dan ke-dengkian yang sangat.
Pada suatu hari Bilal bin Rabah
mengetahui cahaya Allah, lalu ia pergi menemui Rasulullah a dan mengikrarkan
keisla-mannya. Setelah itu ia menghadapi berbagai macam penyiksaan, tapi ia
tetap tegar bagai gunung. Ia diletakkan dalam keadaan telanjang di atas bara
api. Mereka membawanya keluar pada siang hari ke padang pasir, dan mencampakkannya
di atas pasir-pasir yang panas dalam keadaan tak berbaju. Kemudian mereka
membawa batu yang telah dipanaskan yang diangkut dari tem-patnya oleh sejumlah
orang dan meletakkannya di atas tubuh dan dadanya. Siksa demi siksa
berulang-ulang setiap hari, tapi ia tetap tegar. Hati sebagian penyiksanya
menjadi lunak seraya berkata, “Sebutlah Lata dan Uzza dengan baik.” Mereka
me-nyuruhnya supaya memohon kepadanya tapi Bilal menolak untuk mengucapkannya,
dan sebagai gantinya ia mengucapkan senandung abadinya, “Ahad, Ahad”.
Abu Bakar ash-Shiddiq
-Radhiallaahu ‘Anhu datang pada saat mereka menyiksanya, dan meneriaki mereka
dengan ucapan, “Apakah kalian membunuh seseorang karena berucap, ‘Rabbku adalah
Allah?’.” Abu Bakar meminta kepada mereka untuk menjualnya kepadanya. Umayyah
memang berkeinginan untuk menjualnya. Akhirnya Abu Bakar rhu membelinya dengan
harga yang berlipat ganda dari Umayyah. Setelah itu dia membebaskannya, dan
Bilal mulai menjalani kehidupannya di tengah-tengah orang-orang mer-deka… para sahabat
yang taat lagi berbakti. Ketika Abu Bakar memegang tangan Bilal untuk
membawanya, maka Umayyah berkata kepadanya, “Ambillah! Demi Lata dan Uzza,
seandainya kamu menolak kecuali membelinya dengan satu uqiyah, niscaya aku
menjualnya kepadamu dengan harga itu.” Abu Bakar rhu menjawab, “Demi Allah,
seandainya kamu menolak kecuali seharga seratus uqiyah, niscaya aku
membayarnya.”
Setelah Rasulullah
-Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam hijrah ke Madinah, Rasulullah
-Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam me-nyariatkan adzan untuk shalat,
dan pilihan jatuh pada Bilal sebagai mu’adzin pertama untuk shalat. Ini pilihan
Rasulullah saw. Bilal pun melantunkan suaranya yang menyejukkan dan
menggembirakan, yang memenuhi hati dengan iman, dan pendengaran dengan
keindahan. Ia menyeru, “Allahu Akbar, Allahu Akbar” dan seterusnya. Ketika
datang perang Badar, dan Allah menyampaikan urusannya, Umayyah keluar untuk
berperang… Dan ia jatuh tersungkur dalam keadaan mati di tangan Bilal
-Radhiallaahu ‘Anhu.
Pemimpin kekafiran mati
tertusuk oleh pedang-pedang Islam sebagai balasan buat Bilal yang berteriak
setelah terbunuh-nya, “Ahad, Ahad.” Hari-hari berlalu, Makkah ditaklukkan, dan
Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam masuk Makkah dengan ditemani
Bilal. Kebenaran telah datang, dan kebatilan telah sirna. Bilal mengikuti semua
peperangan bersama Rasul -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam dan
mengumandangkan adzan untuk shalat. Ia terus menjaga syiar agama yang agung
ini. Sampai-sampai Rasul -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam
menyifatinya sebagai “seorang pria ahli surga”. Dan Rasul -Shallallaahu ‘Alaihi
Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam berpulang ke haribaan Allah dalam keadaan ridha lagi
diridhai. Sepeninggal beliau, sahabatnya dan khalifahnya, Abu Bakar ash-Shiddiq
-Radhiallaahu ‘Anhu bangkit memimpin urusan kaum muslimin. Bilal pergi menemui
ash-Shiddiq seraya berkata kepadanya, “Wahai Khalifah Rasulullah, aku mendengar
Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda,
‘Amalan mukmin yang paling
utama ialah berjihad di jalan Allah’.”*
Abu Bakar bertanya kepadanya,
“Apakah yang engkau kehendaki, wahai Bilal?” Ia menjawab, “Aku ingin murabathah
(siap siaga berperang) di jalan Allah hingga aku mati.” Abu Bakar bertanya, “Lantas
siapa yang mengumandangkan adzan untuk kami?!”
Bilal berkata, sementara kedua
matanya mengalirkan air mata, “Sesungguhnya aku tidak mengumandangkan adzan
untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah -Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa
Sallam .” Abu Bakar berkata, “Tetaplah mengumandangkan adzan untuk kami, wahai
Bilal.” Bilal berkata, “Jika engkau memerdekakan aku agar aku menjadi milikmu,
lakukan apa yang engkau suka. Jika engkau memerdekakan aku karena Allah,
biarkanlah aku berikut pembebasan yang kau berikan kepadaku.” Abu Bakar
berkata, “Aku memerdekakanmu karena Allah, ya Bilal.”
Bilal kemudian melakukan
perjalanan ke Syam yang di sana ia terus menjadi mujahid dan selalu siap sedia
untuk berjihad. Konon, ia berkali-kali datang ke Madinah dari waktu ke waktu …
tapi ia tidak mampu mengumandangkan adzan. Hal itu karena setiap kali hendak
mengucapkan, “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” (Aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah Rasulullah), kenangan-kenangan masa lalu menahan dirinya, lalu suaranya
tersembunyi di kerongkongannya, dan sebagai gantinya air matanyalah yang
meneriakkan kata-kata itu.**
Akhir adzan yang
dikumandangkannya ialah pada saat Khalifah al-Faruq Umar bin al-Khaththab
-Radhiallaahu ‘Anhu mengunjungi Syam. Kaum muslimin meminta Khalifah membawa
Bilal agar mengumandangkan adzan untuk shalat mereka. Amirul Mu’minin memanggil
Bilal, sementara waktu shalat telah tiba. Umar berharap kepadanya agar
mengumandangkan adzan untuk shalat. Bilal pun naik dan mengumandangkan adzan…
maka menangislah para sahabat yang pernah bersama Rasulullah saw ketika Bilal
mengumandangkan adzan untuk beliau. Mereka menangis seakan-akan mereka tidak
pernah menangis sebelumnya, selamanya.
Bilal meninggal di Syam dalam
keadaan bersiap siaga di jalan Allah, sebagaimana yang dikehendakinya. Semoga
Allah meridhainya dan menjadikannya ridha kepadaNya.
CATATAN KAKI:
* Lihat, Thabaqat Ibn Sa’d, 3/
168
** Rijal Haula ar-Rasul a,
62-70 dengan sedikit perubahan (alsofwah).
(Sumber: hatibenang)
0 komentar:
Posting Komentar